RumahMigran.com – Hukum shalat Jumat saat terjadi wabah, saat ini sedang menjadi perbincangan hangat masyarakat dan menjadi pertanyaan banyak orang.
Nabi Muhammad SAW pernah menginstruksikan masyarakat yang terjangkit penyakit menular supaya diisolasi, agar tidak menyebar.
Caranya adalah dengan menjaga masyarakat yang berada di daerah sekitar wabah tidak keluar ke daerah lain, sedangkan masyarakat yang berada di daerah lain agar tidak masuk ke dalam daerah tersebut.
Beliau bersabda:
إِذَا سَمِعْتُمْ بِالطَّاعُونِ بِأَرْضٍ فَلَا تَدْخُلُوهَا وَإِذَا وَقَعَ بِأَرْضٍ وَأَنْتُمْ بِهَا فَلَا تَخْرُجُوا مِنْهَا
“Apabila kalian mendengar wabah lepra di suatu negeri, maka janganlah kalian masuk ke dalamnya, namun jika ia menjangkiti suatu negeri, sementara kalian berada di dalamnya, maka janganlah kalian keluar dari negeri tersebut.” (HR. al-Bukhari)
Beliau juga bersabda:
قَالَ أَبُو سَلَمَةَ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ سَمِعْتُ أَبَا هُرَيْرَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا تُورِدُوا الْمُمْرِضَ عَلَى الْمُصِحِّ a
“Abu Salamah bin Abdurrahman berkata; saya mendengar Abu Hurairah dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam beliau bersabda: “Janganlah kalian mencampurkan antara yang sakit dengan yang sehat” (HR. al-Bukhari).
Dalam hal ini para ulama fiqih sebenarnya menetapkan bahwa, dilarang bagi mereka yang terkena penyakit menular untuk beribadah di masjid, karena masjid merupakan salah satu pusat keramaian.
Syekh Zakariya al-Anshari dalam Asna al-Mathalib dan Syaikh al-Khatib asy-Syirbini dalam Mughni al-Muhtaj telah menulis sebagai berikut:
وَقَدْ نَقَلَ الْقَاضِي عِيَاضٌ عَن الْعُلَمَاءِ أَنَّ الْمَجْذُومَ وَالْأَبْرَصَ يُمْنَعَانِ مِنْ الْمَسْجِدِ وَمِنْ صَلَاةِ الْجُمُعَةِ، وَمِنْ اخْتِلَاطِهِمَا بِالنَّاسِ
“Qadli Iyadh merujuk dari para ulama, bahwasanya orang yang terkena penyakit judzam (kusta) dan barash (sopak) dilarang mendatangi masjid, shalat Jumat dan dari bercampur baur dengan masyarakat.” (al-Khatib asy-Syirbini,Mughni al-Muhtaj, I: 360).
Syekh Ibnu Hajar al-Haitami menjelaskan alasan larangan tersebut sebagai berikut:
سَبَبَ الْمَنْعِ فِي نَحْوِ الْمَجْذُومِ، خَشْيَةَ ضَرَرِهِ، وَحِينَئِذٍ فَيَكُونُ الْمَنْعُ وَاجِبًا فِيهِ
“Sebab pelarangan bagi penderita penyakit semisal kusta adalah khawatir bahaya darinya. Karena itu, maka pelarangan ini menjadi hal wajib dalam konteks kusta tersebut”. (Ibnu Hajar al-Haitami, al-Fatawa al-Fiqhiyah al-Kubra, I: 212).
Larangan di atas sesuai dengan sabda Nabi Muhammad SAW di atas dan sesuai pula dengan peristiwa saat Nabi memerintahkan agar seorang penderita penyakit kusta berbaiat dari jauh sebagaimana dalam hadits berikut:
عَنْ يَعْلَى بْنِ عَطَاءٍ عَنْ عَمْرِو بْنِ الشَّرِيدِ عَنْ أَبِيهِ قَالَ كَانَ فِي وَفْدِ ثَقِيفٍ رَجُلٌ مَجْذُومٌ فَأَرْسَلَ إِلَيْهِ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّا قَدْ بَايَعْنَاكَ فَارْجِعْ
“Dari Ya’la bin ‘Atha dari ‘Amru bin Asy-Syarid dari bapaknya dia berkata; “Dalam delegasi Tsaqif (yang akan dibai’at Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam) terdapat seorang laki-laki berpenyakit judzam (kusta). Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengirim seorang utusan supaya mengatakan kepadanya: ‘Kami telah menerima baiat Anda. Karena itu Anda dipersilakan pulang’” (HR. Muslim).
Sebagaimana diketahui, baiat adalah sesuatu yang wajib dilakukan kepada Rasulullah SAW dan lumrahnya dilakukan dengan cara berjabat tangan secara langsung dengan beliau (kecuali untuk perempuan).
Akan tetapi dalam kasus penderita kusta ternyata beliau memberikan solusi berbaiat dari jarak jauh yang nampaknya dilakukan agar kehadiran orang itu tidak mendatangkan potensi bahaya bagi hadirin lainnya.
Dari hal ini juga dapat dikatakan bahwa tidak wajib menghadiri shalat Jumat saat ada kekhawatiran terjangkit penyakit menular.
Akan tetapi, apabila masjid dalam keadaan sepi, maka secara otomatis larangan mendekati masjid seperti di atas menjadi tidak berlaku.
Dengan demikian, penderita penyakit menular diperbolehkan melakukan seluruh aktivitas di masjid tatkala sepi.
Sama halnya ia juga diperbolehkan melakukan shalat Jumat atau shalat berjamaah ketika berada dalam ruang isolasi khusus yang tidak bercampur baur dengan orang lain.
Syekh Ibnu Hajar menjelaskan:
وَأَنَّ الْمَدَارَ فِي الْمَنْع عَلَى الِاخْتِلَاطِ بِالنَّاسِ فَلَا مَنْعَ مِنْ دُخُولِ مَسْجِدٍ وَحُضُورِ جُمُعَةٍ أَوْ جَمَاعَةٍ لَا اخْتِلَاطَ فِيهِ بِهِمْ
“Bahwasanya yang menjadi pertimbangan dalam pelarangan adalah campur baur dengan masyarakat. Maka tidak ada larangan memasuki masjid dan menghadiri shalat Jumat atau shalat berjamaah yang tidak ada campur baur di dalamnya.” (Ibnu Hajar al-Haitami, al-Fatawa al-Fiqhiyah al-Kubra, I, 212)
Hanya saja perlu dicatat bahwa illat (alasan hukum) pelarangan di atas adalah menjaga masyarakat dari penyakit menular.
Dengan demikian, apabila kosongnya masjid atau terdapatnya ruang isolasi di masjid belum bisa menjaga terjaminnya masyarakat dari penularan penyakit sebab virusnya dapat hidup dengan menempel di benda-benda fasilitas publik di masjid lalu menulari orang-orang yang menyentuhnya.
Maka pelarangan tersebut, tetap berlaku hingga para ahli yang mempunyai kompetensi menyatakan bahwa kondisi sudah sedia kala.
Benang merahnya adalah, hukum sholat jumat saat wabah bagi mereka yang positif terkena penyakit menular dilarang untuk mendatangi pusat keramaian, salah satunya masjid, sehingga dengan demikian ia cukup shalat dhuhur di rumah.
Namun bagi masyarakat lain yang masih sehat, jika tidak ada kekhawatiran timbul bahaya penularan penyakit saat shalat Jumat, maka selama itu pula shalat Jumat tetap wajib dilakukan.
Sedangkan menurut ahli yang kompeten jika dikhawatirkan terjadi penularan apabila hadir dalam shalat Jumat, maka shalat Jumat bagi mereka tidak wajib dikerjakan sesuai instruksi Nabi Muhammad agar mengisolasi wabah.
Sebagai gantinya, ia harus menunaikan shalat dhuhur di rumah masing-masing.
Sahabat Migran, demikianlah hukum shalat jumat saat wabah, semoga apa yang telah disampaikan dapat bermanfaat dan kita semua dijauhkan dari segakla penyakit menular yang sedang mewabah di bumi ini. Aamiin.