RumahMigran.com – Kesulitan hidup biasanya akan membuat seseorang menjadi kuat dan tekun akan menggapai cita-cita dan keinginannya. Termasuk apa yang dilakukan mantan Pekerja Migran Indonesia (PMI) non prosedural berikut ini yang malah buka sekolah untuk anak-anak PMI di Sabah, Malaysia.
Nurjanita Tappa, adalah mantan PMI ilegal yang nekat buka sekolah untuk anak-anak pekerja migran yang kebanyakan tidak berpendidikan. Niat mulia dan kepeduliannya tentu patut diacungi jempol, sebab ia pada mulanya tidak mendapatkan gaji untuk itu.

Anak-anak yang bersekolah di tempat yang dikelola oleh Nurjanita Tappa itu nampak ceria. Meskipun mereka harus belajar di dalam ruang kelas sederhana yang disekat dengan papan kayu suasana di sana begitu panas.
Sebab, atap yang terbuat dari lembaran seng membuat hawa ruangan lebih panas dari terik matahari di luar. Maklum, sekolah yang ia Kelola bukan sekolah besar dengan berbagai fasilitas yang lengkap.
Namun bagi 90 anak-anak usia sekolah tingkat SD dan SMP, sekolah itu adalah lokasi satu-satunya bagi mereka untuk menimba ilmu di kawasan perkebunan sawit. Bahkan, di antara mereka harus menempuh perjalanan 20 km dari tempat tinggal menuju sekolah ini.
Baca Juga: Pernah Sengsara Saat Kerja Di Hong Kong, Kini Fera Nuraini Sukses Jadi Pengusaha Kuliner

“Yang unik di sini ketika anak-anak itu mulai dari peringkat kosong, lalu diajari sampai mereka mengenal huruf, bisa menulis, bisa membaca sampai kita bisa menaikkan mereka ke kelas yang sesuai dengan umur mereka,” kata Nurjanita dikutip dari suara.com
Mulanya, setelah tidak menjadi PMI kembali, Nurjanita mendirikan CLC 3 (community learning centre). Yaitu pusat kegiatan belajar masyarakat di perkebunan kelapa sawit Lumadan, Beaufort, Negara Bagian Sabah, Malaysia.
Sekolah ini dikelolanya sejak 1 Desember tahun 2009. Mereka yang bersekolah di sana adalah anak-anak PMI yang mencari nafkah dengan mengurus perkebunan kelapa sawit milik perusahaan setempat.

Nurjanita sendiri awalnya tidak memiliki ijazah guru. Bahkan, dia sendiri adalah seorang mantan PMI ilegal yang bekerja sekitar enam tahun di Malaysia. Ia adalah pekerja di pabrik tripleks, di mana profesi itu tidak ada kaitannya dengan guru dan pendidikan.
“Sebenarnya saya tidak pernah bermimpi menjadi seorang guru. Modal saya hanya pandai baca, tulis, hitung. Berbekal baca, tulis, hitung dan ijazah SMA.” ungkap wanita berusia 45 tahun itu.
Agar memiliki izin mengajar, bersama dua orang lainnya, ia pun diundang untuk mengikuti pelatihan kilat sebagai guru di Sekolah Indonesia Kota Kinabalu (SIKK) di Sabah.
Baca Juga: Mantan PMI Malaysia Sukses Raih Omzet Puluhan Juta Dari Usaha Ternak Ikan Air Tawar Di Kampung Sendiri

Di sekolah tersebut, untuk pertama kalinya ia mengajar di depan murid-murid. “Rasanya gemetar dan mulut terasa kaku bagai terkunci,”ungkap Nur.
Tetapi hal ini tidak menyiutkan nyali Nur untuk menjadi tenaga pendidik bagi rekan-rekan mereka yang berada di pedalaman.
“Latar belakang kami bukan guru, tapi kami harus mengajarkan tiga M (menulis, membaca, menghitung) sehingga kami harus menyesuaikan dengan sekolah formal dengan sembilan pelajaran, sampai sekarang kami harus mengikuti Kurikulum 13,” jelasnya.

Tak jarang ia bersama guru-guru lainnya harus belajar sendiri untuk mempelajari kurikulum. Bahkan tak jarang ia menelepon sesama guru di sekolah lain untuk mencari tahu. Dari sana ia banyak belajar dari guru pendamping SIKK yang lain.
Akhirnya, di tahun 2018 ia menyelesaikan kuliah dengan mengambil jurusan Pendidikan Guru Sekolah Dasar (PGSD) dan pada tahun yang sama ia juga lulus mengikuti seleksi guru bina.
Bagi anak-anak keturunan pekerja migran, sekolah yang dijalankan oleh Nurjanita dan lima guru lainnya tersebut menawarkan harapan agar mereka tidak harus mengikut jejak orang tua menjadi buruh ladang.
Tak hanya itu, Nurjanita juga merintis pusat-pusat pembelajaran masyarakat lain di kawasan perkebunan. Seperti CLC 25 Ladang Cepat, Tempat Kegiatan Belajar (TKB) Ladang Pilajau, dan kini tengah merintis TKB satu lagi, sungguh menginspirasi!