RumahMigran.com – Pahlawan tanpa tanda jasa layak disematkan kepada para Pekerja Migran Indonesia (PMI). Suatu penghormatan oleh negara secara formal kepada seseorang yang telah berjasa, demikianlah pemahaman umum mengapa seseorang tersebut diberi gelar Pahlawan. Lalu, tambahan berkat perjuangan heroik, dedikasi yang melebihi kapasitasnya serta bertaruh jiwa raga demi dan serta mempertahankan kemerdekaan².
Namun secara informal, sambil lalu mereka ulang, dalam diskusi ringan. Setidaknya dari sekian banyak, ada tiga, bisa juga lebih. Secara jamak, sekelompok warga negara menyandang atribut kepahlawanan.
Oleh: Budhi Santoso (Pensiunan Senior Manager PT Bank Syariah Indonesia)
Sebut saja, pertama adalah insan mulia kependidikan. Bapak Ibu guru kepadanya disematkan anugerah semi formal sebagai Pahlawan Tanpa Tanda Jasa. Apalagi, jika menjelang pemilu, baik pilpres, pilkada atau pileg. Kerapkali, dipahlawankan, jika ingin ‘meraih’ simpati dan perebutkan suaranya oleh para politisi.
Kedua, jika waktu shalat Subuh terlewatkan, maka dikategorikan sebagai Pahlawan Kesiangan, sejenis dengan anugerah berlabel satire, sarkas serta ada muatan ‘nyinyir’nya. Atau yang disematkan pada pribadi-pribadi negeri ini.
Karena belakangan tiba-tiba ikut perhatian, aktif dan kepo banget pada saat terjadi sesuatu isu sensitif, seperti kejadian bencana alam. Tentunya, ditenggarai bobotnya adalah cari muka, pencitraan plus kental aroma pamrihnya.
Sedangkan yang ketiga adalah gelar plasebo Pahlawan Devisa, atribut ini disematkan secara informal kepada kelompok TKI, kini disebut Pekerja Migran Indonesia, PMI. Coba cek deh!
Mari dimulai dari catatan Bank Indonesia (BI), nilai kiriman seluruh pekerja Indonesia dari berbagai negara ke tanah air. Secara statistik, jumlahnya pernah mencapai puncaknya. Lebih dari Rp.115trilyun, pada tahun 2016. Jumlah tersebut menjadikan, devisa PMI menempati peringkat ketiga. Di mana peringkat pertama, devisa perolehan negara berasal dari sektor minerba non-migas, yaitu ekspor batu bara.
Peringkat kedua, ditempati oleh hasil ekspor minyak sawit & minyak biji sawit. Jumlah remitansi tersebut diperoleh hanya dari nilai yang tercatat masuk dari penempatan PMI baru, dan perpanjangannya saja. Sedangkan, laporan terkini BI diakhir tahun 2020, jumlah nilai remitansi PMI hanya mencapai USD 9,430juta, atau setara Rp.133Trilyun.
Terinformasi, empat tahun terakhir sejak 2016 hingga 2020, nampak jumlah remitansi PMI cenderung stagnan, bersaing ketat dengan devisa yang diperoleh dari sektor pariwisata, di peringkat keempat. Bersaing, bahkan lebih tinggi, jika dibandingkan dengan raihan yang sempat hype dalam program TaxAmnesty, yang dicanangkan beberapa waktu yang lalu.
Namun, yang menjadi ironi adalah bagaimana para pahlawan tersebut dikelola negara, sejak mengurus dokumen dan data pribadi, mendapatkan job order, kirim devisa, dengan kerja keras hingga ada yang mendapat tekanan fisik dan psikis. Terutama jika ada konflik antara PMI dengan majikannya. Miris. Bahkan, kepulangannya pun minus sambutan, setidaknya penghargaan layaknya pahlawan yang telah kembali dari medan peperangan.
Namun, jika satu orang saja PMI mendapat masalah (terutama pidana) di tempat kerjanya, kemudian digeneralisasi. Seakan kesalahan disandang melulu oleh PMI nya, karena menanggung stigma, posisi tawar yang rendah serta bentuk penilaian asimetris lainnya. Gelar informal pahlawan devisa tersebut, luntur seketika begitu saja.
Catatan Badan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI d/h BNP2TKI), saat itu terdapat 25 propinsi dengan 10 besar daerah asal penempatan tenaga kerja, yaitu Kabupaten Indramayu, Cirebon, Cianjur dan Subang di Jawa Barat; Kabupaten Lombok Timur dan Lombok Tengah di NTB; Kabupaten Cilacap, Kendal dan Brebes di Jawa Tengah serta Kabupaten Ponorogo di Jawa Timur.
Karena alasan ekonomi, pengaruh budaya, asal daerah serta pendidikan PMI masih didominasi 98.21 persen lulusan SD, SMP hingga SMU dan hampir 46.83 persennya bekerja di sektor informal bidang jasa rumah tangga.
Sehingga kondisi inilah yang konon ditenggarai banyak memicu berbagai permasalahan yang terus meningkat dari 2.09 persen di tahun 2011 menjadi 6.46 persen pada tahun 2016 lalu.
Dan, kesepuluh daerah asal yang mendominasi pengiriman PMI tersebut berpendidikan rendah, bekerja di sektor informal karena rendahnya keterampilan dan bekerja di sektor penata rumah tangga. Di mana penempatan kerja terbesar berada di wilayah Negara-negara Timur Tengah.
Saat ini terjadi ketimpangan kebutuhan tenaga kerja dunia (demand) yang turun 78.22 persen, sementara penempatan (supply) hanya turun 47.61 persen. Setelah tahun 2016 terjadi penurunan ekstrim hingga 60 persen, jika dibandingkan penempatan PMI mencapai puncaknya pada 2011 sebanyak 586.802 orang.
Ditenggarai ini akibat kondisi internal negara tujuan, moratorium penempatan PMI baru ke Timur Tengah serta belum efektifnya program alternatif penempatan PMI prosedural sektor formal.
Namun jumlah uang yang dikirim para penghasil devisa tersebut terus tumbuh 15persen lebih setiap tahun. Tantangan penting lain dan menjadi problem sosial kemudian adalah kondisi mantan PMI setelah kembali berkumpul dengan keluarganya di kampung halaman.
Karena tingkat literasi keuangan yang rendah, sehingga rezeki hasil perjuangan fisik-mental tersebut tidak sertamerta membuat para penghasil devisa terbebas dari jerat kesulitan ekonomi lagi. Inilah yang kemudian menjadi pemicu utama PMI informal ini ‘terpaksa’ harus berjuang kembali mengais rezeki di negeri orang.
Walaupun hasilnya belum maksimal, BP2MI saat ini tengah melaksanakan revitalisasi program utama serta pemberdayaan PMI sektor informal berpendidikan rendah, paska kembali ke tanah air.
Diperlukan inisiatif bersama. Pertama, revitalisasi berupa penguatan kelembagaan yang melibatkan peran dan peluang berbagai pihak. Integrasi program dari berbagai tujuan para pemangku kepentingan yang mengadopsi tantangan dan kesempatan berbagai sektor.
Selain memenuhi kepentingan pemerintahan pusat dan daerah, tentu ada peran bagi lembaga swadaya & perlindungan konsumen, institusi pendidikan, tokoh masyarakat dan media. Program ini harus menjanjikan peluang bagi industri lain terkait untuk berkolaborasi dengan lembaga-lembaga di bawah otoritas keuangan negeri ini.
Revitalisasi kelembagaan yang utama adalah bagaimana meningkatkan informasi dan mengubah paradigma bahwa peluang kebutuhan tenaga kerja sektor formal di berbagai penjuru dunia masih sangat terbuka luas.
Namun peluang ini hanya dapat dipenuhi oleh tenaga kerja yang berkualifikasi skilled dan berpendidikan tinggi serta bersertifikasi standar profesi dunia. Program unggulan yang telah dinilai berhasil adalah penempatan PMI sektor formal Program Government to Government (G to G).
Sehingga penempatan PMI yang berpendidikan dasar terus menurun serta sebaliknya yang berpendidikan tinggi terus meningkat. Hal tersebut menunjukan bahwa kehadiran negara melalui kampanye perlindungan dini dan pilihan jalur resmi sebagai PMI prosedural terus menunjukkan hasil positif.
Sementara peluang penempatan baru PMI informal harus dibekali tambahan program peningkatan literasi keuangan bagi calon PMI, lebih intensif lagi. Aspek inilah yang harus tingkatkan kualitasnya, kendati prioritas serta tujuan ideal akhirnya bukan untuk meningkatkan jumlah penempatan baru PMI sektor informal.
Kedua, eksekusi program yang mengubah paradigma calon PMI informal dan membuka ekslusifitas sistem serta peran langsung institusi keuangan berteknologi terkini.
Edukasi sederhana, bagaimana sasaran dapat mengakses, mengetahui manfaat serta mendapat pengalaman langsung penggunaan produk dan jasa keuangan modern. Misal, fitur mobile transfer & billing payment yang bisa digunakan dari seluruh penjuru dunia. Pemilikan aset likuid seperti emas dan perhiasan emas secara mencicil.
Edukasi langsung tersebut memerlukan role model sekaligus endorser. Public figure, success story dari person from zero to hero di lingkungan terdekat atau icon yang kuat di masyarakat.
Edukasi melibatkan sasaran, terus menerus, baik sebelum maupun pengawalan implementasi sekembalinya ke tanah air. Karena secara umum, calon PMI belum memahami serta dapat membedakan apa manfaat dan risiko menjadi investor atau menjalankan usaha secara mandiri. Membeli atau memiliki aset apa yang bermanfaat tertinggi dengan risiko terendah.
Bahkan, sering terjebak janji investasi berisiko tinggi, dan tidak mendidik karena informasi yang didapat terbatas serta ilegal. Bahkan ditemukan, yang paling miris adalah pengaruh dari dalam keluarga lingkungan terdekat.
Pihak orang terdekat, kerap menjerumuskannya pada gaya hidup konsumtif, tidak produktif hingga terjebak dan mengalami tindakan manipulatif pihak lain yang memanfaatkan kelemahan, terutama PMI informal.
Peningkatan literasi keuangan PMI informal harus dipandang dari satu sisi kebijakan struktural pemangku kepentingan dan pemegang otoritas utama demi kebutuhan mereka yang seringkali disebut pahlawan tanpa tanda jasa selain guru.
Kebijakan yang kelak menjadikan para pejuang ini dapat memenuhi kebutuhan dasar hidup sosialnya, yaitu bebas dari penderitaan, merdeka dari rasa takut dan mudah serta mendapatkan penghargaan.
Kebijakan yang meliputi pemenuhan pendidikan dasar hingga jenjang lebih tinggi, baik umum maupun vokasional.
Sehingga atribut yang semula bermakna mulia sebagai Pahlawan Devisa, tetap mendapatkan apa yang sangat dibutuhkan, sekembali mereka dari medan perang. Setidaknya, sebagai pejuang dan tulang punggung ekonomi keluarga. Saat di negeri orang, walaupun kerap mendapat tekanan, kondisi budaya setempat, gaya dan kehidupan keseharian, sosial, ekonomi.
Para PMI yang mendapat julukan pahlawan tanpa tanda jasa, setelah berjuang dalam pekerjaan yang tidak dapat digantikan, secara fisik dan mental di negeri orang. Seperti apa yang digambarkan dalam tayangan ilustrasi televisi drama “Dunia Terbalik”.
Di kemudian hari, mereka diharapkan tidak berlanjut menghadapi kembali musuh laten, yaitu siklus kekerasan hidup, fisik dan mental yang kerap menderanya, akibat kebijakan struktural yang tidak memihaknya di negeri sendiri. Semoga. (-bs-)