RumahMigran.com – Indonesia memiliki 1300 suku bangsa dengan tradisi yang beragam. Salah satunya adalah tradisi yang terdapat di Desa Nelayan di Lamalera, Pulau Lembata, Nusa Tenggara Timur, yaitu berburu paus. Tradisi berburu Paus di masyarakat desa nelayan ini sudah ada sejak tahun 1.500 tahun yang lalu bersamaan dengan berdirinya kampung nelayan di ujung selatan Lembata.
Tradisi ini bukanlah sebuah kegiatan memburu paus secara membabi buta, melainkan hanya menunggu paus yang lewat untuk kemudian ditangkap. Seorang warga asli Lamalera mengatakan bahwa masyarakat hanya menangkap paus sperma di perairan Lamalera. Menurutnya, paus yang ditangkap akan dibagikan kepada semua warga desa, sekitar 3.000 jiwa, terutama untuk para janda, fakir miskin, dan yatim piatu.
Karena takut melukai tubuh paus ketika akan ditangkap maka para nelayan menggunakan peledang atau perahu kayu tradisional tanpa mesin. Tali untuk menangkap paus pun berupa rajutan dari daun pohon gebang dan serat batang waru, yang dijadikan sebagai tali sakral.
Baca Juga: Menjadi Terkaya di Dunia, Beginilah Sepak Terjang Jeff Bezos
Dikutip dari Travel Tempo, berburu paus merupakan bagian dari tradisi lokal yang telah diwariskan sejak zaman dahulu oleh leluhur mereka. Biasanya para pemburu ini akan menelusuri perairan Lamalera. Uniknya, pada tradisi ini sang juru tombak haruslah lelaki baik-baik, berperilaku sopan, dan taat beribadah. Jika lelaki tersebut sudah beristri maka sebelum pergi berburu, dia dilarang untuk menggauli istrinya. Jika larangan tersebut dilanggar, maka para pemburu tidak akan pernah mendapatkan paus seekorpun.
Para leluhur mereka pun berpesan agar tidak memburu paus yang sedang bunting ataupun paus muda. Konon katanya, jika mereka salah menangkap paus maka musibah akan menyerang kampung tersebut.
Baca Juga: 7 Aktivitas Wajib Di Seoul Yang Harus Dilakukan Saat Berkunjung
Desa Berhias Tulang Belulang Paus
Seperti tradisinya, maka kampung ini dihiasi tulang belulang paus, mulai dari hiasan dinding hingga gerbang desa. Selain itu, tulang belulang paus dimanfaatkan sebagai bahan kerajinan berupa cincin, sedangkan kulit paus diambil minyaknya untuk dijadikan lampu minyak.
Awalnya, pemburuan ini ditentang oleh berbagai Lembaga Sosial Masyarakat (LSM) yang bergerak dibidang pelestarian alam, World Wide Fund for Nature (WWF) dan Greenpeace. Setelah mereka melihat aktivitas para pemburu secara langsung, tentangan mereka pun terhenti.