RumahMigran.com – Walau sudah puluhan tahun mengizinkan pengiriman Pekerja Migran Indonesia (PMI) ke luar negeri, tetapi pemerintah dan pihak-pihak yang terkait masih belum bisa memberikan perlindungan hukum bagi PMI secara maksimal.
Sorotan aspek tersebut menjadi dasar bagi Tirtawening, seorang dosen di Universitas Indonesia, berbagi pandangan melalui theconversation. Tirtawening mengajak kalangan akademisi memberikan sumbangsih nyata agar memberikan perlindungan hukum bagi PMI secara rata di negara penempatan masing-masing.
Ironi di balik devisa negara yang diberikan oleh pekerja migran domestik
Sudah menjadi informasi umum bahwa para PMI menyumbangkan devisa yang besar bagi negara. Misalnya, pada 2018, Indonesia telah mengirimkan 283.640 PMI, dimana 200 ribu di antaranya adalah pekerja migran perempuan. Sedangkan 150 ribu lainnya bekerja di sektor domestik. Statistik tersebut menempatkan negara kita ke dalam daftar negara penyuplai pekerja migran domestik terbesar di dunia.
Para pekerja migran domestik tersebut mengirimkan remitansi hingga US$8,8 miliar atau kisaran Rp124 triliun pada tahun yang sama. Angka tersebut mendekati 1% dari keseluruhan Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia.
Walau demikian, perlindungan hukum bagi PMI, khususnya pekerja migran domestik, belum optimal. Hal ini bisa disimpulkan dari masih maraknya kasus pidana yang menjerat mereka. Sebagai contoh, Tuti Tursilawati, yang divonis bersalah pada Oktober 2018 setelah membunuh majikan yang telah memperkosanya di Saudi Arabia.
Sejak 2011, setidaknya 103 PMI menghadapi ancaman hukuman mati, 13 di antaranya berada di Saudi Arabia.
Baca Juga: 3 Hal Penting Tentang Work Permit atau Izin Kerja, PMI Wajib Tahu!
Bagaimana seharusnya peran dari akademisi hukum?
Perlindungan hukum bagi PMI tidak bisa dipandang dari segi hukum saja. Untuk pekerja migran domestik, misalnya, membutuhkan urun rembug akademisi dari berbagai sektor untuk merumuskan pandangan terkait hak asasi manusia yang lengkap. Sudut pandang berbeda kemungkinan wajib hadir untuk mengurai benang kasus tertentu. Perspektif tersebut kemungkinan terkait hukum yang menyangkut ketenagakerjaan, hak perempuan, hukum internasional, dan hak asasi manusia.
Tirtawening melihat fakta tersebut sebagai peluang bagaimana akademisi hukum bisa memberikan andil. Ia mengambil contoh saat bertemu komunitas pekerja migran domestik dan keluarga mereka di wilayah timur dan selatan provinsi Lampung. Dari pertemuan tersebut, ia dan rekan sejawat memperoleh informasi tentang pekerja migran di sana. Mereka berbagi perihal tingginya biaya rekrutmen untuk bisa bekerja di negara tujuan penempatan.
Setelah dipelajari, hal tersebut berkaitan dengan belum diratifikasinya Konvensi Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) tahun 1998 tentang Lembaga Kerja Swasta yang melarang pembebanan biaya penempatan.
Berkaca dari hal tersebut, para akademisi hukum bisa membantu pekerja migran dengan memberikan konsultasi dan informasi jika tersandung kasus hukum. Sebelum berangkat, akademisi tersebut dapat memberikan bekal pengetahuan hukum. Upaya tersebut bisa menjadi bagian kegiatan program pengabdian masyarakat di universitas.
Tema lain yang patut disampaikan adalah UU No. 18 Tahun 2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia. Akademisi tersebut dapat membantu mensosialisasikan UU tersebut yang bersinggungan banyak mengenai perlindungan hukum bagi PMI.
Lembaga hukum di universitas sebaiknya difungsikan sebagai tempat konsultasi dan solusi atas masalah hukum PMI. Mahasiswa hukum bahkan dapat magang pada lembaga yang fokus pada masalah hukum PMI.
Baca Juga: Belajar Hukum Mengenai Tindak Pidana Perdagangan Manusia
“Industri PMI” yang sudah salah kaprah, karena perlindungan hukum bagi PMI tidak kuat
Perlindungan hukum bagi PMI bukanlah hal mendasar yang menjadi akar carut marutnya kondisi PMI. Pengiriman calon PMI, terutama perempuan pekerja migran domestik, sudah menjadi industri tersendiri di Indonesia. Para pihak yang terlibat memandang mereka sebagai komoditas. Beberapa pihak yang terkait adalah biro perjalanan, pencari tenaga kerja, penerjemah, broker, dan agen perumahan.
Maraknya pengiriman PMI memberikan keuntungan besar untuk mereka tetapi justru merugikan PMI. Contoh kerugian tersebut adalah pelecehan fisik, psikis, seksual hingga bekerja di luar nalar tanpa menerima bayaran.
Moratorium pekerja rumah tangga ke Timur Tengah pernah dilakukan oleh Pemerintah Indonesia. Tetapi, survei dari Migrant Care pada 2016 mengindikasikan setidaknya dua ribu pekerja rumah tangga tetap berangkat ke kawasan tersebut. Mereka menyandang status ilegal yang bisa sulit keluar dari kasus hukum jika terseret.
Persilangan industri dan status hukum mereka memberikan ruang bagi akademisi dari berbagai bidang keilmuan untuk saling membantu. Dari segi akademisi hukum, Tirta berpendapat peran dari akademisi ini sangat dibutuhkan.
Yang pertama adalah mengubah paradigma para pihak bahwa PMI bukan hanya komoditas tetapi manusia. Sehingga, tidak ada lagi satu pihak pun yang beranggapan PMI objek untuk meraup laba.
Secara konkret, sebaiknya dibuat pelatihan sebelum berangkat tentang pengetahuan dasar soal hak asasi manusia dan keterampilan kerja. Di dalamnya termasuk materi tentang hak untuk bekerja, hak untuk memperoleh perawatan kesehatan, dan tentunya perlindungan hukum untuk PMI selama berada di negara tujuan penempatan. Hak tersebut memperoleh legalisasi di mata hukum Indonesia dan dunia.
Tidak hanya itu, akademisi hukum dapat memberikan pengetahuan mengenai budaya negara tujuan penempatan. Ahli hukum Sulistyowati Irianto mengatakan pengetahuan mengenai budaya setempat sangat penting agar tidak ada lagi kasus-kasus pidana lantaran melanggar norma budaya. Jangan sampai ketidaktahuan membuat mereka berurusan dengan aparat hukum setempat.