RumahMigran.com – Tiongkok kini menghadapi kekhawatiran yang mendalam seiring dengan ketegangan yang meningkat antara demonstran di Hong Kong dan kepolisian setempat. Aksi demonstrasi yang berlangsung dalam beberapa hari terakhir telah menunjukkan eskalasi yang signifikan, menjadikan situasi semakin sulit dikendalikan.
Pemerintah Republik Rakyat Tiongkok telah mengeluarkan kecaman keras terhadap tindakan para demonstran, menyebutkan bahwa perilaku mereka telah melampaui batas dan memasuki ranah kekerasan yang tidak bisa diterima.
Bahkan, pemerintah Beijing menilai aksi tersebut sebagai bentuk terorisme yang memerlukan tindakan tegas dan segera untuk memastikan pemulihan ketertiban dan keamanan di Hong Kong.

Hal ini disebabkan oleh pandangan bahwa para demonstran telah merusak citra Hong Kong di mata dunia internasional. Banyak orang merasa bahwa tindakan demonstran mempengaruhi reputasi Hong Kong sebagai pusat keuangan global dan destinasi wisata yang aman dan stabil.
Dalam dua hari berturut-turut, yaitu pada hari Senin dan Selasa (12-13 Agustus 2019), otoritas Bandara Internasional Hong Kong terpaksa menutup total operasional bandara. Penutupan ini terjadi akibat aksi protes yang melumpuhkan aktivitas di bandara, menyebabkan gangguan besar dalam sistem transportasi udara.
Akibat dari penutupan bandara tersebut, ratusan jadwal penerbangan dari Hong Kong terpaksa dibatalkan. Penutupan ini menyebabkan ketidaknyamanan bagi ribuan penumpang, dengan banyak dari mereka terpaksa mencari alternatif perjalanan atau menunggu hingga bandara dibuka kembali.
Baca Juga: 6 Fakta Kasus Predator Anak Yang Dihukum Kebiri Kimia
Seperti diketahui, aksi demonstran yang menduduki area terminal keberangkatan Bandara Internasional Hong Kong menyebabkan gangguan signifikan pada operasional bandara. Tindakan ini menarik perhatian internasional dan memperlihatkan meningkatnya ketegangan di Hong Kong.
Pada hari Selasa (13 Agustus 2019), demonstran menunjukkan sikap lebih berani dengan membentuk barisan barikade dari troli bagasi. Upaya ini dirancang untuk menghalangi akses ke area keberangkatan, menambah kesulitan bagi penumpang yang hendak melakukan check-in.
Selain itu, para pengunjuk rasa juga mengaitkan tangan mereka untuk menciptakan penghalang fisik, dengan tujuan mencegah penumpang memasuki area keberangkatan. Tindakan ini semakin memperburuk situasi dan mempersulit proses perjalanan bagi banyak orang yang sudah berada di bandara.
Baca Juga: 6 Alasan Presiden Jokowi Pindahkan Ibu kota Baru Indonesia
Tindakan demonstran yang menduduki terminal keberangkatan Bandara Internasional Hong Kong sontak membuat pemerintah Hong Kong geram. Sebagai respons, pihak berwenang terpaksa menggunakan cara represif untuk memulihkan operasional bandara.
Akhirnya, pengunjuk rasa dibubarkan secara paksa. Metode yang digunakan terbilang cerdik, yaitu dengan semprotan merica, bukan gas air mata yang sering digunakan dalam situasi serupa. Pendekatan ini dipilih untuk meminimalkan dampak pada fasilitas bandara dan penumpang yang tidak terlibat.
Pihak keamanan juga bertindak sigap dengan mengamankan dan menahan sejumlah demonstran yang dianggap sebagai provokator. Langkah ini bertujuan untuk meredam ketegangan dan mengembalikan situasi ke kondisi yang lebih terkendali, meskipun dampak dari kerusuhan ini masih terasa pada operasional bandara dan perjalanan penumpang.
Baca Juga: Dirgahayu Republik Indonesia, Jangan Sampai Salah Menulisnya
Aksi demonstran pada Selasa (13 Agustus 2019) memicu kemarahan pemerintah Tiongkok. Peristiwa di Bandara Internasional Hong Kong dinilai mirip dengan serangan teroris, yang kemudian berujung pada bentrokan antara pihak keamanan dan pengunjuk rasa.
Ketegangan semakin meningkat ketika kelompok kecil pengunjuk rasa mengklaim telah menangkap mata-mata Tiongkok di antara kerumunan. Tuduhan tersebut memicu bentrokan antara para demonstran dan aparat keamanan, menambah kekacauan di bandara dan memperburuk situasi yang sudah tegang.
Pemerintah Tiongkok segera mengecam aksi tersebut, menyebutnya sebagai ancaman serius terhadap keamanan. Situasi ini menyoroti intensitas konflik yang sedang berlangsung di Hong Kong dan dampaknya terhadap hubungan antara Hong Kong dan Tiongkok.
Dalam aksi demonstrasi yang berlangsung pada Selasa (13 Agustus 2019), para demonstran juga terlibat dalam tindakan kekerasan terhadap seorang jurnalis yang diidentifikasi sebagai pekerja di Global Times, media yang dikelola oleh Tiongkok. Jurnalis tersebut diikat dan dipukuli oleh para demonstran, menambah intensitas ketegangan di bandara.
Sementara itu, Beijing menanggapi klaim bahwa orang yang dianggap mata-mata oleh demonstran sebenarnya hanyalah seorang warga kota Shenzhen yang sedang berkunjung ke Hong Kong. Pemerintah Tiongkok mengecam keras tindakan demonstran, dengan menyebutnya sebagai perilaku teroris.
“Kami mengecam aksi pengunjuk rasa. Tindakan mereka seperti teroris,” tegas Xu Luying, juru bicara Kantor Urusan Dewan Negara Hong Kong dan Makau, sebagaimana dilansir dari Al Jazeera. Xu Luying menambahkan bahwa kericuhan yang dilakukan oleh para demonstran telah merusak citra Hong Kong di mata dunia internasional, menambah tekanan pada situasi yang sudah kompleks.
Baca Juga: BPN Prabowo Tanggapi Polisi Jaga Gedung MK: Emang Mau Nyerbu Kesana?







