RumahMigran.com – Perjanjian kerja Penata Laksana Rumah Tangga (PLRT) sangat penting bagi majikan dan PLRT untuk memastikan pekerjaan selama kontrak memenuhi tujuan bagi kedua belah pihak dan tanpa ada kerugian di salah satu pihak.
Perjanjian kerja PLRT memuat syarat kerja, hak, dan kewajiban baik PLRT dan atasan. Syarat bagi majikan atau pemilik atau perwakilan suatu perusahaan adalah mereka harus berstatus sebagai penduduk permanen atau temporer negara penempatan.
Pihak pemberi kerja harus melakukan kontrak dengan visa kerja dan memakai kartu identitas negara.
Departemen Imigrasi suatu negara lah yang biasanya akan menetapkan penghasilan per tahun pemberi kerja sebagai syarat boleh mempekerjakan seorang PLRT dari negara lain.
Baca Juga: Kabar Gembira, Ada Program Rekalibrasi Bagi PATI Dari Pemerintah Malaysia Tiap Tahunnya
Bagaimana Memperoleh Kontrak Kerja?
Sebelum membahas secara spesifik perjanjian kerja PLRT, kami perlu membagikan cara memperoleh perjanjian kerja bagi Pekerja Migran Indonesia (PMI) secara umum. Lazimnya, kontrak kerja bisa diurus di Departemen Imigrasi. Departemen ini pula yang akan mengesahkan kontrak paska diterbitkannya visa kerja. Selain surat kontrak ini, setiap PMI juga harus mempunyai surat perjanjian penempatan.
Setiap klausul dalam perjanjian kerja bersifat mengikat baik PMI atau pun atasannya. Keduanya tidak boleh sesuka hati mengubah kesepakatan, terlebih tanpa persetujuan dari pemerintah, misalnya Komisaris Tenaga Kerja. Perjanjian di luar kesepakatan menjadi ilegal adanya.
Jika terjadi pelanggaran atau pertikaian terkait kontrak, kedua belah pihak harus mengurusnya di Departemen Tenaga Kerja atau Labour Department melalui Layanan Hubungan Tenaga Kerja atau Labour Relations Service atau LRS.
Baca Juga: 3 Hal Penting Tentang Work Permit atau Izin Kerja, PMI Wajib Tahu!
Kontrak Kerja Untuk PLRT
Undang-Undang Penempatan dan Perlindungan TKI di Luar Negeri (UU PPTKILN) Tahun 2004 mengatur asisten rumah tangga (ART) atau PLRT sebagai pekerja yang harus mempunyai kontrak kerja tertulis sebelum bekerja.
Dalam perjanjian tersebut harus memuat jam kerja, gaji, metode penggajian, hak cuti, waktu istirahat, fasilitas dan jaminan sosial. Hal ini diatur secara lebih lanjut pada Pasal 53 ayat (5) huruf e dalam Undang-Undang tersebut.
Apabila aturan tersebut dilanggar atau tidak dipenuhi, PLRT bisa menuntut tanggung jawab dari Perusahaan Penempatan Pekerja Migran Indonesia (P3MI) tempatnya ia mendaftarkan diri. Ini tertuang dalam Pasal 55 dalam Undang-Undang tersebut yang mengatur jenis pekerjaan formal dan informal, seperti PLT dan sopir.
Baca Juga: Belajar Hukum Mengenai Tindak Pidana Perdagangan Manusia
Kondisi Yang Sesungguhnya
Sungguh disayangkan tidak semua berjalan semestinya. Ada banyak sekali PMI yang tidak memperoleh kontrak kerja. Tindakan penindakan belum maksimal dari Badan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI). Belum semua PMI yang akan bekerja sebagai PLRT mempunyai pengetahuan yang cukup tentang kontrak kerja ini.
Menurut Undang-Undang tersebut pada Pasal 52 ayat (2) huruf f, P3MI bertanggung jawab memberikan bantuan jika majikan tidak memenuhi kontrak PLRT. Lebih lanjut, Pasal 82 dari Undang-Undang yang sama menyebutkan P3MI harus bertanggung jawab jika PMI, termasuk PLRT, tidak mengerjakan pekerjaan sesuai kontraknya. Dalam Pasal 24 Undang-Undang tersebut, PLRT, buruh dan pekerja memperoleh pengakuan. Sopir atau pengemudi termasuk ke dalam PMI sektor informal.
Meski demikian, terdapat banyak kasus dimana kontrak kerja hanya dipegang oleh Pelaksana Penempatan Tenaga Kerja Indonesia Swasta (PPTKIS), tidak sampai ke tangan PLRT.
Apabila mengalami masalah terkait perjanjian kerja PLRT, mereka bisa menuntut P3MI merujuk pada Pasal 103 ayat (1) huruf e Undang-Undang tersebut. Denda berupa denda hingga hukuman penjara, menanti P3MI yang tidak melaksanakan kewajibannya.