RumahMigran.com – Kontroversi pencairan JHT atau Jaminan Hari Tua pada usia 56 tahun masih belum mereda hingga sekarang. Beberapa kalangan menyerukan keberatannya tetapi hingga sekarang Kementerian Ketenagakerjaan atau Kemenaker RI masih memberlakukan Permenaker RI No. 2 Tahun 2022 tentang Tata Cara dan Persyaratan Pembayaran Manfaat Jaminan Hari Tua.
Aturan tersebut memuat poin pencarian JHT baru bisa dilakukan setelah seorang pekerja berumur 56 tahun. Kebijakan ini menjadi kontroversi pencairan JHT yang dinilai mencederai nilai kemanusiaan dan mengabaikan kondisi masyarakat saat ini saat wabah akibat COVID-19 membuat banyak karyawan terkena Pemutusan Hubungan Kerja atau PHK.
Baca Juga: Panduan Ringkas Mendaftarkan Bayi Baru Lahir Jadi Peserta BPJS Kesehatan
Alasan di balik aturan JHT terbaru
Sebagaimana diambil dari Antaranews.com, Staf Khusus Menteri Ketenagakerjaan Dita Indah Sari mengatakan aturan pencairan JHT setelah berumur 56 tahun muncul sebab pemerintah telah mempersiapkan program Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP).
“JKP akan lebih membantu masyarakat ketika menerima Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) dan JHT akan menjadi jaminan di masa tua,” kata Dita.
Permenaker No. 2 Tahun 2022 terbit untuk menggantikan aturan lama, yakni Permenaker No. 19 tahun 2015. Dalam aturan lama, setiap karyawan boleh mencairkan JHT miliknya tanpa memandang alasannya berhenti kerja, apakah mengundurkan diri atau terkena PHK. Uang JHT bisa diperoleh secara tunai setelah sebulan sejak tanggal pengunduran diri atau tanggal terkena PHK.
Baca Juga: Catat! Begini Cara Pencairan Dana Taperum Bagi Pensiunan PNS
Selain JHT, pemerintah memperkenalkan program Jaminan Kehilangan Pekerjaan atau JKP berupa uang tunai, pelatihan kerja, dan akses informasi pasar kerja. Adanya program JKP ini membuat pemerintah mengembalikan fungsi JHT sesuai peruntukannya.
“Setelah mempertimbangkan banyaknya program jaminan sosial untuk para buruh tersebut, maka khusus Jaminan Hari Tua (JHT) dikembalikan kepada fungsinya, yakni sebagai dana yang dipersiapkan agar pekerja di masa tuanya memiliki harta sebagai biaya hidup di masa sudah tidak produktif lagi,” kata Kepala Biro Humas Kemnaker, Chairul Fadhly Harahap,
Chairul menambahkan bahwa program JHT bersifat jangka panjang. Proses pengambilan keputusannya sudah dengan melibatkan berbagai kalangan terkait ketenagakerjaan. Adanya kontroversi pencairan JHT belakangan ini akan membuat pihaknya berdialog dan bersosialisasi dengan berbagai pemangku kepentingan, terutama pimpinan serikat buruh atau serikat pekerja.
Baca Juga: Melalui Program Go Digital, Telkom Bantu Cetak Santri Digital Di Lingkungan Pesantren
Suara sumbang dari berbagai kalangan
Kontroversi pencairan JHT disarikan dari pendapat berbagai kalangan. Sekretaris Jenderal Asosiasi Pekerja Indonesia (ASPEK) Sabda Pranawa Djati meminta pemerintah meninjau ulang aturan baru JHT tersebut. Poin yang menyita perhatiannya adalah poin pencairan JHT yang baru bisa dilakukan setelah memasuki usia pensiun, 56 tahun.
“Pemerintah jangan membuat kebijakan yang merugikan pekerja dan rakyat Indonesia. JHT adalah hak pekerja karena iurannya dibayarkan oleh pemberi kerja dan pekerja itu sendiri,” kata Sabda.
ASPEK Indonesia mengaku keberatan dengan pencairan JHT setelah berumur 56 tahun sebab sangat merugikan pekerja yang terkena PHK. Bagi mereka, uang tersebut bisa digunakan sebagai modal untuk memulai usaha baru sebab wabah COVID-19 menyebabkan banyak yang sulit memperoleh pekerjaan baru.
Himbauan yang sama datang dari anggota Komisi IX DPR RI Netty Prasetiyani Aher. Ia meminta pemerintah mengkaji ulang Permenaker RI Nomor 2 Tahun 2022 sebab mengabaikan kondisi pekerja yang kini tertekan.
“Peraturan ini juga menunjukkan ketidakpekaan pemerintah terhadap situasi pandemi yang membuat pekerja mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK),” ujarnya.
Baca Juga: BP2MI Kembali Lepas CPMI G to G Korea Selatan
Pentingnya Mekanisme Pembayaran JHT
Pencairan dana JHT bagi yang berumur 56 tahun berlaku bagi yang berhenti kerja lantaran mengundurkan diri, terkena PHK atau pergi dari Indonesia untuk seterusnya. Merujuk pada data BPJS Ketenagakerjaan per Desember 2021, total klaim peserta BPJS Ketenagakerjaan yang berhenti bekerja mayoritas lantaran mengundurkan diri (55%) dan terkena PHK (35%).
“Berhenti bekerja karena PHK tentu bukan keinginan pekerja. Berhenti karena pengunduran diri pun bisa karena situasi di tempat kerja yang sudah tidak nyaman. Jadi, mengapa JHT yang sebagiannya merupakan tabungan peserta ditahan pencairannya,” ucap Netty.
Di lain pihak, ekonom CORE Indonesia Yusuf Rendy Manilet menekankan pentingnya mekanisme pembayaran JHT dan JKP yang jelas. “Jangan sampai jika ada orang yang mau mendapatkan JKP justru prosesnya rumit dan memberatkan,” tegasnya.
Terkait kontrovers pencairan JHT ini, ia mengatakan aturan JHT bisa melengkapi aturan JKP yang diikutkan bersama pesangon sehingga bisa membantu sementara yang terkena PHK.
Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2015, klaim terhadap sebagian manfaat JHT tersebut dapat dilakukan apabila peserta telah mengikuti program JHT paling sedikit 10 tahun.Besaran sebagian manfaatnya yang dapat diambil yaitu 30% dari manfaat JHT untuk pemilikan rumah. Atau, 10% dari manfaat JHT untuk keperluan lainnya dalam rangka persiapan masa pensiun.